Menu

Mode Gelap
Johannes Rettob Fokus pada Penataan Birokrasi dan Peningkatan Kinerja Pemerintahan di Mimika Lembaga Adat Mimika Tantang Pemerintah: Stop Politisasi, Tolak Pj Bupati Baru! Bentrok Warga di Jalan C Heatubun Timika Berakhir dengan Kesepakatan Damai Pemkab Mimika Siapkan 280 Formasi Khusus CPNS untuk Putra-Putri OAP Komunitas Kovac Timika Bangun Tugu Helm di SP 2 Cenderawasih untuk Tingkatkan Kesadaran Penggunaan Helm PJ Gubernur Papua Tengah Tegaskan : ASN Harus Netral Menjelang Pilkada 2024

Artikel

PENDIDIKAN KRITIS di PERGURUAN TINGGI

badge-check
Advertisements

Oleh :Umbu Tagela & Arif (Guru dan Dosen UKSW)

INTERVENSI kebijakan saat ini dalam membangun pendidikan di Perguruan Tinggi sebagai upaya teknis-rasional,terlalu memumpun pada tujuan ekonomi.

Pendidikan dan pembelajaran pendidikan tinggi mestinya dibangun sebagai tantangan intelektual dan untuk tujuan emansipatoris serta ekonomi.
Pendidikan bukan ruang hampa dan bukan juga ruang yang bebas dari intervensi dan praktek politik, bahkan pendidikan adalah arena pertarungan pengetahuan, budaya dan nilai-nilai termasuk politik. Pada tataran mikro, ketika seorang dosen, menentukan sendiri pengetahuan apa yang akan ia berikan pada anak didiknya, maupun ketika ia melakukan negosiasi pengetahuan yang akan ia berikan, di situlah “praktek politik” terjadi, yakni dengan adanya pengambilan keputusan dan sikap.

Adanya praktik komunikasi dan relasi antar-dosen, mahasiswa, institusi perguruan tinggi, masyarakat juga menunjukkan bahwa pendidikan adalah aksi budaya dan sosial, karena bahasa komunikasi dan substansi komunikasi adalah produk budaya dan praktik berkomunikasi adalah bentuk tindakan atau aksi sosial.

Setiap dosen mesti membuat Rencana Pembelajaran Semester yang disebut RPS. Dalam implementasinya Dosen harus memilih dan memutuskan pengetahuan seperti apa yang diajarkan sebagai bentuk tanggungjawab dan keputusannya dalam mengajar dan mendidik.


Sebagai tindakan atau aksi politik, budaya dan sosial, secara garis besar dalam diskursus pedagogi kritis terdapat dua perspektif dan arah dari praksis pendidikan, yaitu (1) upaya reproduksi dari tata nilai sosial dominan yang ada dan juga sebagai (2) arena perlawanan (resistance) dan transformasi sosial. Analisis lebih lanjut mengenai dua perspektif dan arah dari praksis pendidikan tersebut dapat diikuti misalnya pada tulisan Eric Margolis (2001) dan Henry Giroux (1983).

Analisis ini lebih mendasarkan pada basis teori kritis Jürgen Habermas yang banyak dikenal sebagai generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, dengan demikian menempatkan diri dalam upaya untuk membangun praksis pendidikan yang diarahkan untuk transformasi sosial.

Hal menarik dari konsep ini adalah: pertama, tidak banyak literatur yang membahas mengenai dimensi atau ranah pedagogi di universitas di Indonesia, terlebih dengan nuansa, ekspresi dan arahan dasar pedagogi kritis apa \lagi diera Pandemi covid. Diskursus besar yang berkembang di Indonesia mengenai universitas lebih banyak dibawa ke arah ranah penelitian dan pengabdian pada masyarakat, bahkan di era sekarang ini banyak arah penelitian didikte oleh kebutuhan dunia industri (pasar), padahal tidak semua kampus basis dasar dan orientasinya adalah pada pasar, misalnya adalah kampus-kampus kependidikan seperti Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) lainnya.

Memang pada beberapa kampus LPTK, orientasi pada aktivitas pengajaran masih kental dan lebih banyak dibandingkan dengan aktivitas meneliti, menulis dan melakukan advokasi di masyarakat. Namun orientasi pada pengajaran tersebut ternyata tidak banyak dibarengi dengan perkembangan gagasan pedagogi kritis dan sejenisnya, banyak dosen yang masih berkutat dengan gaya dan praktik perkuliahan konvensional, walau di sisi lain juga terdapat fenomena mulai berkembangnya gagasan dan praktik pedagogi yang kritis dan transformatif tidak bisa disangkal mulai menyeruak.

Kedua, untuk membumikan teori besar yang familiar disebut sebagai Teori Kritis yang dilahirkan dari rahim tradisi berpikir Marxian ala Mazhab Frankfurt, atau yang juga dikenal sebagai neo-Marxian. Upaya pembumian dan/atau bisa juga disebut sebagai kontekstualisasi inilah yang kurang pada dunia akademik di Indonesia. Cara pandang Habermas, Gramsci dan Foucault misalnya memang pada level dan konteks tertentu sudah dicoba untuk “dibumikan” dalam konteks Indonesia oleh Mansour Fakih dan kawan-kawan (1996, 2010 & 2011), namun hal itu tidak terjadi di dalam dunia akademik, melainkan di dunia gerakan sosial dan pemberdayaan masyarakat marjinal.

Di sinilah Monica McLean mengisi kekosongan dari apa yang agaknya belum banyak dilakukan oleh para intelektual dan aktivis pendidikan di Indonesia, terutama dalam dunia akademik atau di dalam pendidikan formal persekolahan (schooling), dengan membawa Teori Kritis dari Habermas untuk dijadikan sebagai acuan dalam analisis kritis gagasan dan praksis pedagogi di perguruan tinggi.Ketiga, dengan acuan dasar pada Jürgen Habermas, ada kementakan atau alternatif lain dari gerakan pedagogi kritis di Indonsia, yang sejak pertengahan Orde Baru banyak dipengaruhi oleh gagasan dan praksis pendidikan Paulo Freire. di Indonesia amat jarang terdapat teori-teori besar yang dibumikan atau dikontekstualisasikan dalam dunia pendidikan, terlebih lagi teori sosial kritis untuk dibumikan dalam dunia pendidikan sampai pada ranah dan praksis pedagoginya. Hal itu dapat dipahami karena memang Teori Kritis termasuk dari Jürgen Habermas memang “tidak terkait langsung” dengan dunia pendidikan, teori Tindakan Komunikatif (communicative action) yang juga dirujuk oleh Monica McLean (2006) misalnya bukanlah teori untuk menjelaskan fenomena pendidikan dalam arti umum, melainkan sebuah teori untuk menjelaskan fenomena sosio-kultural.

Oleh karena itu, upaya untuk membawa teori-teori sosial kritis dalam hal ini adalah Teori Kritis dari Habermas amatlah penting bagi perkembangan gerakan pedagogi kritis di Indonesia. Ibaratnya, pedagogi kritis dengan demikian telah mendapatkan satu bantuan lagi, berupa perspektif paradigmatik sebagai pisau analisis untuk membedah praksis pendidikan di Indonesia.

Monica McLean (2006) menggunakan istilah university pedagogy atau yang dapat diartikan sebagai gagasan dan praktik pedagogi di perguruan tinggi dalam konteks Indonesia. Penggunaan istilah pedagogy ketimbang education menyiratkan pumpunan dan kecenderungan bahwa diskursus yang ia bawa sampai pada level “operasional” praksis pembelajaran di dalam kelas (micro level). Kalau menggunakan istilah education, maka sebagaimana terdapat misalnya dalam banyak diskursus dalam educational studies atau kajian pendidikan, lingkup bahasannya lebih banyak pada soal kebijakan pendidikan (education policy), manajemen pendidikan, kurikulum dan sejenisnya.
Sebagai sebuah gagasan yang mendasarkan pada analisis kritis terhadap pendidikan, ulasan Monica McLean (2006) merupakan upaya lebih lanjut dari perkembangan gerakan pedagogi kritis.

Bagi McLean, Habermas dengan teori-teori sosial kritisnya amat penting sebagai pisau analisis terhadap praksis pendidikan di universitas, sampai pada ranah pembelajaran di dalam kelas.
McLean sudah menggunakan istilah-istilah khas dari kalangan Mazhab Frankfurt, yaitu rasionalitas teknis (technical-rational), yang dengan demikian artinya: pendidikan di universitas sudah diarahkan dan dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan teknis. Habermas bagi McLean cukup menjanjikan sebagai sumber untuk melakukan kritik terhadap praksis pendidikan di universitas, selain itu juga menujukkan alternatif terhadap kondisi sosio-kultural yang ada. Teori Kritis menurut McLean menawarkan sebuah teori yang dapat menjadi kerangka kerja (framework) dalam mengkritik tujuan, praktik dan kebijakan (policy) dari pedagogi universitas sekarang ini, dan sekaligus menjadi dasar bagi tujuan emansipasi dan keadilan sosial melalui praksis pedagogi universitas.


Teori kritis bersifat normatif: tujuan kritis adalah untuk menggambarkan masa depan yang lebih adil dan bebas. “Kritis” mengacu tidak hanya pada kritik terhadap kondisi sosial, tetapi juga pada gagasan Kant tentang pemeriksaan refleksi diri terhadap batas dan validitas pengetahuan dan pemahaman kita sendiri. Kritik melibatkan refleksi tentang apa yang kita anggap remeh, mengidentifikasi kendala ketidakadilan, dan, membebaskan diri kita untuk mempertimbangkan kementakan yang lebih adil. Namun, penting untuk memperjelas bahwa teori kritis tidak bertujuan untuk menghasilkan pengetahuan yang pasti, juga tidak menunjukkan kemajuan yang lugas dan tak terelakkan.

Teori kritis membangun argumen, yang harus selalu terbuka, tentang bagaimana kita melakukannya dan apa yang bijaksana untuk dilakukan; ia bertujuan, khususnya, untuk menghentikan gerakan yang kuat dan tidak manusiawi untuk mendistorsi kehidupan manusia.
Teori Kritis memiliki daya dan energi untuk mengkritik kondisi sosial sebagai cara untuk menggambarkan visi masa depan yang lebih berkeadilan sosial dan bebas. Tidak hanya itu, kritik dari Teori Kritis juga ditujukan pada ranah epistemologi, yakni mengenai kebenaran pengetahuan dan pemahaman terhadap realitas sosial. Hal tersebut ditunjukkan misalnya dengan kritiknya terhadap hegemoni pengetahuan yang didasari oleh paradigma positivistik. Jadi, tidak sekadar berupaya untuk mengungkap penindasan terselubung dan tersembunyi saja..
Habermas juga menawarkan pandangan bahwa pendidikan adalah solusi untuk masalah yang dihadapi manusia, dan sebagai bidang kajian, pendidikan secara tradisional cukup luas dan interdisiplin, oleh karenanya sesuai dengan bidang kajian Habermas yang juga menggabungkan kajian epistemologi, psikologi, sosiologi, etika, filsafat dan politik sebagai pondasi bagi pandangan optimistik dalam upaya mengembangkan kualitas hidup manusia. Hal penting  yang diambil oleh McLean untuk membangun pemikirannya mengenai pedagogi universitas dari Habermas adalah: (1) argumen bahwa modernitas adalah proyek yang belum usai dan dianggap cukup menjanjikan bagi tumbuhnya otonomi, keadilan, demokrasi dan silidaritas; (2) konsep kolonisasi dunia kehidupan (lifeworld); dan (3) gagasan mobilisasi rasio komunikatif (communicative reason).


Dua hal terakhir tersebut menunjukkan dua sisi dari tatanan sosial modernitas, di satu sisi terjadi praktik kolonilasi dunia kehidupan oleh uang dan kekuasaan, dan di sisi lain terdapat potensi bagi terbangunnya tatanan masyarakat yang adil dengan mengandalkan rasio komunikatif. Di sinilah Habermas mengidealkan hadirnya pencerahan (enlightenment) yang ia nyatakan sebagai proyek modernitas yang belum “sepenuhnya” terwujud dengan bertumpu pada rasio komunikatif. Oleh karena itu bahasa menjadi harapan bagi Habermas dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup individu dan masyarakat yang lebih baik. Ia membuat dua asumsi yang saling berhubungan, yaitu (1) bahwa tujuan bahasa adalah untuk menghasilkan makna dan mencapai pemahaman antara satu dan lainnya mengenai makna tersebut; dan (2) bahwa tiap pengguna bahasa memiliki kemampuan untuk memproduksi makna dan motivasi untuk menghasilkan kesepakatan dengan yang lain mengenai bagaimana tindakan tersebut adalah kapasitas untuk rasio komunikatif (McLean, 2006).
Jadi, melalui bahasa diharapkan terjadi percakapan yang mendasarkan pada rasio (akal sehat, akal budi) hingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sosial untuk kehidupan yang lebih baik. Inilah yang disebut sebagai teori Tindakan Komunikatif (theory of communicative)
Merujuk paparan di atas, pada pilahan manakah dosen memosisikan pembentukan karakter sebagai salah satu pilar utama sebuah proses pendidikan?

Baca Lainnya

Saidiman Dikembalikan Jabat Kepala Puskesmas Limau Asri

9 Mei 2025 - 12:47 WIT

Dinas Kesehatan Mimika Upayakan Semua Nakes & Non-Nakes Jadi PPPK

9 Mei 2025 - 12:37 WIT

Trending di Artikel