DALAM kehidupan sehari-hari kita, kita akan selalu menemui konflik entah bersama teman, keluarga, masyarakat, bahkan konflik dengan diri sendiri. Tidak lain di dalam hubungan perusahaan bisnis antar pengusaha pasti menemui konflik entah masalah kontrak atau yang lain. Dalam suatu pernjanjian antara para pihak atau suatu hubungan bisnis, selalu ada kemungkinan timbulnya konflik. Konflik yang terjadi sering terjadi terkait dengan cara pelaksanaan klausal dalam perjanjian, isi perjanjian dan hal yang dilakukan tidak sesuai dengan perjanjian yang telah diatur.
Kontrak-kontrak bisnis antara pengusaha lokal dengan pengusaha lokal, pengusaha lokal dengan pengusaha asing terus terjalin luas. Dengan hal itu akan semakin banyak juga konflik yang timbul yang tidak dapat terhindarkan. Permasalahan tersebut berdampak terhadap peran pengadilan negeri sebagai lembaga tempat menyelesaikan konflik. Di Indonesia, dalam penyelesaian konflik dengan pihak yang bersangkutan, menggunakan beberapa cara yang digunakan seperti jalur ligitasi (pengadilan) atau menggunakan jalur non litigasi (negoisasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian ahli, dan arbitrase).
Namun, pengadilan negeri saat ini dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh para pengusaha, termasuk dalam soal penyelesaian konflik yang dihadapi, sehingga pihak perusahaan atau hubungan bisnis menganggap tidak efektif jika diselesaikan di pengadilan. Maka dari itu, banyak pengusaha termasuk di Indonesia lebih mengenal arbitrase untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi karena lebih efektif.
Arbitrase dianggap lebih efektif karena arbitrase lebih mengutamakan itikad baik, tidak konfrontatif, serta lebih kooperatif. Sedangkan jika menggunakan pengadilan mengutaman metode pertentangan, sehingga pihak yang berkonflik akan bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang akan menang.
Dengan perbedaan tersebut menggambarkan bahwa penyelesaian konflik dalam dunia persaingan bisnis lebih menyukai arbitrase karena dianggap paling sesuai dengan kebutuhan dalam dunia bisnis.
Lembaga arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian konflik diluar pengadilan, yang juga disebut dengan “pengadilan wasit. Istilah arbitrase berasal dari kata “arbitrare” bahasa latin yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Arbitrase menurut pasal 1 ayat (1) UU RI no 30 tahun 1999 mengenai arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa adalah penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang secara dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berkonflik.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti yang diajukan oleh para pihak.
Menurut Frank Elkoury dan Etna Elkoury, arbitrase adalah suatau proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dengan dalil dalam perkara tersebut. Sedangkan menurut Christopher Moore (2003), arbitrase merupakan istilah umum proses penyelesaian konflik sukarela diman apihak yang terlibat konflik meminta bantuan pihak ketiga yang imparsial atau netral untuk membuat keputusan mengenai objek konflik.
Arbitrase juga memiliki beberapa jenis-jenis seperti arbitrase umum (nasional), aribtrase khusus (syariah), dan arbitrase internasional. Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik dalam suatu negara. Arbitrase khusus adalah arbitrase untuk menyelesaikan konflik khusus dalam bidang tertentu contohnya konflik ekonomi syariah, hubungan industrial, bisnis maritime, olahraga, dan pasar modal. Sedangkan arbitrase internasional adalah arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdasarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasional.
Penjelasan lengkapnya, arbitrase umum (nasional) adalah arbitrase yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional di suatu negara. Seperti di Indonesia yang memiliki arbitrase umum yang dibentuk berdasarkan undang-undang yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang dibentuk berdasarkan UU Republik Indonesia (RI No:30 tahun 1999) tanggal 12 Agustus 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Sistem arbitrase yang diatur oleh UU arbitrase berbeda dengan sistem arbitrase sebelumnya yang diputuskan tidak selalu final dan mengikat. Menurut UU arbitrase adalah cara penyelesaian suatu konflik yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang berkonflik.
Perjanjian yang tertulis digunakan sebagai klausal dalam perjanjian. BANI sendiri melakukan kerjasama dengan lembaga arbitrase di luar negeri seperti The Japan Commercial Arbitration Association, The Netherland Arbitration Institute, The Korean Commercial Arbitration Board, dan lain-lain.
Arbitrase Khusus atau Syariah, yaitu salah satu jenis arbitrase yang berkembang di Indonesia pararel dengan adanya kegiatan ekonomi islam adalah arbitrase syariah. Arbitrase syariah yaitu arbitrase yang menyelesaikan konflik dalam bidang ekonomi syariah. Dengan turunya Surat Edaran Mahkamah Agung No.08 tahun 2008 yang termasuk ekonomi syariah seperti bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah.
Dalam penyelesaian konflik dalam bidang ini di luar pengadilan pada tanggal 21 Oktober 1993. Majelis Ulama Indonesia mendirikan Badan Arbitrase Muamalat Indonedia (BAMUI). Badan ini didirikan oleh Badan Hukum Yayasan berdasarkan Akta Notaris Yudo Paripurno Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Setelah itu pada tahun 2001 dikerluarkan UU-RI No : 16 Tahun 2001 tentang Yayasan status BAMUI diubah.
Berdasarkan Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia (BASYARNAS). Badan ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama bukan oleh Pengadilan Negeri dan keputusan tetap di tangan Ketua Pengadilan agama sesuai dengan butir 4 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.
Bertambahnya perkembangan bisnis internasional, semakin banyak terjadi kasus perselisihan mengenai kontrak bisnis antarpengusaha dari berbagai negara. Maka dari itu , untuk menghindari masalah tersebut, pihak yang membuat kontrak bisnis internasional tidak memilih arbitrase negera mereka, tetapi memilih arbitrase internasional. Pasal 1 ayat 9 jo Pasal 65, Pasal 67, dan Pasal 68, UU Arbitrase, mengakui eksistensi arbitrase internasional.
Arbitrase internasional adalah proses penyelesaian konflik dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah hukum RI. Arbitrase internasional memiliki karakteristik sendiri seperti a)menyelasaikan kontrak bisnis internasional yang dalam kontrak dinyatakan klausal kontrak; b) tidak memiliki hubungn dengan negara masing-masing pihak yang terlibat; c)penyelasaian dilakukan oleh salah satu lembaga arbitrase internasional; d)menggunakan peraturan khusus yang mengatur proses arbitasre internasional; e)dalam klausul perjanjian arbitrase internasional, ketentuan menggunakan hukum dan pengadilan negara mana yang telah ditentukan Arbitrase dianggap sebagai suatu profesi dimana dalam melaksanakan tugasnya, perilaku arbiter telah diatur oleh kode etik profesi yang di susun oleh lembaha tempatnya bekerja atau asosiasi arbiter.
Di Indonesia memiliki Badan Arbitrase Pasar Modal yang mengeluarkan etika perilaku (code of conduct) Arbiter/Mediator Badan Pasar Modal Indonesia. Arbiter yang sudah dianggap penting diharuskan memiliki dan menguasai kode etik seperti a) arbiter bekerja atas dasar penunjukkan dari pihak-pihak yang berkonflik; b) arbiter tidak mencampuri urusan atau mecari pekerjaan dari mereka ;c) seorang arbiter mempunyai intergritas dan adil dalam melaksanakan tugas ; d)tidak memiliki kepentingan akan sebuah konflik (conflict of interest) dalam kasus yang diselesaikan; e) arbiter harus berperilaku sopan, tegas, dan bijaksana; f) mengambil keputusan berdasar ketentuan hukum dan keadilan; g)menjaga kerahasiaan; h)arbiter mendapat renumerasi oleh lembaga arbitrase ; i)memberikan keputusan dalam waktu yang telah disepakati dan dintentukan.
Perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak baik berupa bagian dari kontrak terikat dan merupakan suatu kontrak yang terpisah. Dalam UU No.30 tahun 1999, perjanjian arbitrase terwujud dalam bentuk kesepakatan seperti klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian dibuat oleh pihak sebelum timbul sengketa dan suatu perjanjian tersendiri dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.
Penentuan sah atau tidaknya arbitrase tergantung pada syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 12 30 BW yaitu kesepakatan yang mengikat, kecapakan untuk membuat perjanjian, suatu persoalan khusus, dan sebab yang tidak terlarang.
Sedangkan perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis dimana suatu klausul arbitrase dalam suatu kontrak harus ditandatangani oleh para pihak atau dengan dimuat secara surat menyurat. Perjanjian tertulis ini mengikat hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian konflik atau saat terjadinya beda pendapat yang termasuk dalam pernjanjian hanya ke lembaga arbitrase Perjanjian arbitrase merupakan tambahan dari perjanjian pokok yang bersifat sebagai aksesoris. Artinya keberadaannya tidak akan mempengaruhi pemenuhan pelaksanaan perjanjian. Dengan demikian, tanpa klausul arbitrase pemenuhan perjanjian pokok tidak terhalang, begitu juga sebaliknya tanpa ada perjanjian pokok, para pihak tidak mengadaan ikatan perjanjian arbitrase.
Dalam perjanjian arbitrase di Indonesia pula juga memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pihak arbiter dan pihak yang berkonflik. Syarat tersebut dibagi menjadi dua yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Isi dari syarat subjektif sendiri yaitu dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab atas hukum dengan cakap untuk bertindak hukum (pasal 130 dan 433 KUH Pdt) dan dibuat oleh mereka yang demi hukum yang berwenang untuk melakukan perjanjian. Sedangkan syarat objektif, dalam ketentuan dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa disebutkan seperti konflik perdata bidang perdagangan dan konflik mengenai hak (menurut hukum dan per UU) dikuasi sepenuhnya oleh para pihak.
Arbitrase secara umum dapat digunakan untuk penyelesaian konfrik publik maupun perdata, tetapi dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa perdata. Mekanisme penyelesaian konflik melalui arbitrase berada pada Pasal 34 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat menggunakan Lembaga Arbitrase Nasional maupun internasional berdasarkan kesepatakan pihak dan mekanisme mengikuti lembaga yang dipilih kecuali pihak menetapkan sendiri.
Seperti yang telah dijelaskan diatas tahapan dalam pelaksanaan arbitrase berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, R.Subekti, S.H Harjono Tjirosubino, S.H dan A.J Abukabar, mendiringan BANI sebafai lembaga untuk menyelesaikan konflik komersial bersifat otonomo dan independen. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase pada hakekatnya secara umum tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan di pengadilan, karena pihak ketiga yang terlibat dalam menyelesaikan konflik sama-sama memiliki kewenangan memutuskan konflik tersebut.
Seperti yang kita tahu pengadilan di Indonesia mengalami banyak keraguan karena adanya kolusi dan selalu mempertimbangkan yang berkuasa yang menang. Maka dari itu, Indonesia sendiri memilih arbitrase sebagai lembaga untuk menyelesaikan konflik tidak semata-sama didasarkan pada alasan cepat dan biaya murah. Dalam UU No.30 Tahun 1999 telah ditegaskan bahwa pemeriksaan perkara oleh arbitrase paling lama 6 bulan. Mahkamah Agung telah menerbitkan surat edaran Nomor 6 Tahun 1992, tanggal 21 Oktober 1992 yang menggariskan bahwa pemeriksaan perkara ditingkat peradilan wajib diselesaikan dalam waktu paling lama 6 bulan, jika terjadi keterlambatan wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada batas waktu pemeriksaan perkara oleh lembaga sama sama ditentukan paling lama 6 bulan, keunggulan arbitrase masih lebih unggul dibanding pengadilan, karena putusan arbitrase bersifat final dan binding dimana para pihak harus menerima putusan arbitrase tanpa meminta pemeriksaan ulang. Jika di pengadilan, pihak yang kalah akan mengajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan ulang yang akan kembali memakan waktu dan biaya.
Apabila putusan arbitrase mengharusnya pembatalan, maka pembatalan tersebut harus ditempuh jalur pengadilan yang pasti akan memakan waktu lama dan paling cepat 6 bulan. Jika pembatalan ditolak pengadilan, maka pemohon akan mengajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, dan putusan arbitrase tidak dapat di eksekusi dan didaftarkan karena berarti putusan tersebut dianggap masih bermasalah.
Pembatalan tersebut dapat diajukan jika memang surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,dinyatakan palsu, ada yang disembunyikan dari pihak yang berkonflik, dan putusan diambil dari hasil tipu saat pemeriksaan konflik. Jika pembatalan disatu sisi putusan oleh pengadilan yaitu untuk melindungi pihak-pihak yang dirugikan arbitrase, karena tidak menutup kemungkinan arbitras memutus tidak sesuai ketentuan hukum yan berlaku.
Jika dibanbinkan dengan konflik yang diputus peradilan jumlah konflik yang diselesesaikan arbitrase jauh lebih sedikit karena arbitrase tidak dapat mengadili dan memeriksa semua perkara yang hanya terbatas pada konflik tertentu di luar hukum keluarga, perburuhan dan perkara lain yang tidak dapat menemukan jalan perdamaian. Namun, kasus yang diselesaikan melalui arbitrase ternyata lembaga ini terbukti efektif dalam menyelesaikan konflik. Hal ini terbukti dari kasus yang berhasil diselesaikan melalui arbitrase di nasional maupun internasional.
BANI sendiri telah menyelesaikan lebih dari 20 konflik, dimana jumlah tersebut belum termasuk konflik yang diputus oleh arbitrase asing yang dipilih oleh pelaku usaha Indonesia. Serta hasil dari penelitian sebagian besar pengusaha lebih menyukai penyelesesaian konflik melalui arbitrase di luar negeri daripada pengadilan di Indonesia karena a) pengusaha asing lebih suka menggunakan arbitrase karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka; b)pengusaha negara maju beranggapan hakim negara berkembang tidak menguasai sengketa dagang yang melibatkan hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit; c) jika di peradilan akan memakan waktu panjang; d) beranggapan jika pengadilan akan bersikap subjektif kepada mereka karena konflik diperiksa dan diadili bukan berdasarkan hukum mereka; e) di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat membuat hubungan renggang sesama pengusaha.
Konflik bisa saja terjadi dimana saja, dalam hubungan sosial seperti keluarga, sekolah, komunitas, bahkan hingga hubungan ekonomi dan perdagangan. Terutama pada hubungan pengusaha untuk memajukan usahanya. Jika sudah membuat perjanjian tersebut tidak menutup kemungkinan akan tidak berkonflik. Di Indonesia, dalam penyelesaian konflik dengan pihak yang bersangkutan lebih percaya menggunakan arbitrase karena dirasa lebih efektif, putusan antara kedua belah pihak agar tidak terjadi merasa ketidakadilan karena perbedaan hukum serta pengadilan negeri ini dianggap kurang mampu memenuhi tuntutan percepatan yang selalu dituntut oleh pengusaha.
Arbitrase menurut pasal 1 ayat (1) UU RI no 30 tahun 1999 mengenai arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa adalah penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang secara dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berkonflik. Arbitrase memiliki beberapa jenis seperti arbitrase umum (nasional), aribtrase khusus (syariah), dan arbitrase internasional. Indonesia pada saat ini telah memiliki badan arbitrase yaitu BANI yang didirikan pada tanggal 3 Desember 1977 dan BASYARNAS yang tetapkan pada tanggal 24 Desember 2003.
Mekanisme arbitrase dalam penyelesaian konflik diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999, yang mengatur bahwa pemeriksaan perkara oleh arbitrase paling lama 6 bulan dan telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Nomoe 6 Tahun 1992. Arbitrase ini lebih unggul dan lebih efektif dibanding pengadilan karena waktunya yang singkat dan biaya yang murah. Namun tidak hanya semata singkat dan karena biaya saja, tetapi juga karena putusan arbitrase bersifat final dan binding. Artinya putusan arbiter tidak dapat diajukan untuk pemeriksaan ulang.