Menu

Mode Gelap
Johannes Rettob Fokus pada Penataan Birokrasi dan Peningkatan Kinerja Pemerintahan di Mimika Lembaga Adat Mimika Tantang Pemerintah: Stop Politisasi, Tolak Pj Bupati Baru! Bentrok Warga di Jalan C Heatubun Timika Berakhir dengan Kesepakatan Damai Pemkab Mimika Siapkan 280 Formasi Khusus CPNS untuk Putra-Putri OAP Komunitas Kovac Timika Bangun Tugu Helm di SP 2 Cenderawasih untuk Tingkatkan Kesadaran Penggunaan Helm PJ Gubernur Papua Tengah Tegaskan : ASN Harus Netral Menjelang Pilkada 2024

Editorial

Narsisme Politik Cenderung Impulsif Dalam Pilkada dan Dampaknya Merugikan

badge-check


					Narsisme Politik Cenderung Impulsif Dalam Pilkada dan Dampaknya Merugikan Perbesar

Advertisements

Ilustrasi Ego sebagai penyebab Narsisme. (Foto: Google)

 

DALAM dinamika politik Pilkada, seringkali kita menyaksikan fenomena yang cukup menarik namun juga memprihatinkan karena cenderung impulsif dan merugikan, yaitu bagaimana para pendukung pasangan calon cenderung mengedepankan sikap narsis dalam mendukung jagoannya termasuk nyaris tanpa pertimbangan.

Narsisme merujuk pada kecenderungan seseorang untuk memiliki rasa cinta yang berlebihan terhadap dirinya sendiri, seringkali disertai dengan kebutuhan untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain. Dalam konteks politik, narsisme dapat terlihat dalam perilaku pendukung yang sangat fokus pada kesuksesan atau popularitas pasangan calon mereka, sering kali tanpa mempertimbangkan fakta atau argumen yang rasional. Pendukung dengan sikap narsis lebih mementingkan kepuasan pribadi dan identitas kelompok yang mereka bela, daripada pemikiran kritis terhadap calon atau kebijakan yang diusung.

Sedangkan  Impulsif adalah perilaku yang dilakukan tanpa perencanaan atau pertimbangan yang matang, sering kali berdasarkan dorongan atau reaksi instan terhadap suatu stimulus. Dalam konteks mendukung pasangan calon, sikap impulsif muncul ketika pendukung dengan cepat menyebarkan informasi—baik yang benar maupun salah—tanpa terlebih dahulu memverifikasi kebenarannya atau memikirkan dampaknya. Perilaku impulsif ini bisa merugikan, karena sering kali didorong oleh emosi sesaat dan bukan oleh analisis yang rasional.

Narsisme dalam konteks Pemilukada bisa dilihat sebagai perilaku di mana para pendukung—melalui berbagai media sosial, khususnya WhatsApp—melakukan aksi berbagi (share) berita atau informasi secara berulang-ulang tanpa memperhatikan konteks atau kualitas informasi tersebut. Mereka cenderung menjadi impulsif dalam menyebarkan pesan-pesan yang mendukung pasangan calon tanpa ruang untuk mencerna atau mengkritisi kebenarannya.

Sikap narsis ini sering kali dipicu oleh pengidentifikasian yang terlalu emosional terhadap pasangan calon yang mereka dukung. Mereka merasa menjadi bagian dari kelompok “pemenang” atau “benar,” yang membuat mereka merasa superior dan perlu untuk menunjukkan kepada publik bahwa pilihan mereka adalah pilihan yang paling tepat. Hal ini sering kali tercermin dalam perilaku berbagi informasi yang berulang-ulang di WhatsApp, yang seolah-olah menjadi sarana untuk memperlihatkan kesetiaan dan keberpihakan mereka terhadap calon tertentu. Dalam banyak kasus, berbagi informasi ini lebih mengarah pada pembentukan identitas politik yang didasarkan pada kepuasan pribadi, bukan pada dialog atau pemahaman rasional tentang calon yang mereka dukung.

Lebih lanjut, dalam konteks politik lokal, munculnya pembahasan tentang “pribumi” sebagai elemen penting dalam kampanye politik dapat menambah dimensi narsis yang lebih berbahaya. Ketika pasangan calon mengangkat isu ini untuk meraih dukungan, mereka memanfaatkan sentimen identitas etnis atau budaya yang bisa membangkitkan perasaan “kebanggaan” terhadap status sebagai pribumi. Bagi pendukung, terutama yang berasal dari kelompok mayoritas atau pribumi, ini menjadi sarana untuk mempertegas identitas kelompok dan menempatkan diri sebagai pihak yang “berhak” untuk memimpin. Mereka cenderung merasa lebih dihargai dan diprioritaskan dalam ruang politik, seolah-olah mereka adalah kelompok yang paling layak untuk memimpin.

Namun, dampak dari fenomena ini sangat merugikan bagi demokrasi dan masyarakat secara keseluruhan. Pertama, sikap narsis yang didorong oleh identitas etnis atau kebanggaan kelompok ini memperburuk polarisasi sosial. Ketika politik lebih banyak dibangun atas dasar primordialisme—mengutamakan identitas etnis atau suku tertentu—maka yang terjadi adalah penutupan ruang bagi dialog lintas kelompok dan pengembangan kebijakan yang inklusif. Masyarakat yang tadinya plural dan majemuk, dengan demikian, akan terjebak dalam situasi politik yang sangat sempit, yang membatasi visi dan tindakan politik mereka.

Kedua, sikap berbagi informasi secara impulsif dan berulang-ulang tanpa verifikasi dapat memperparah penyebaran hoaks atau informasi yang menyesatkan. Dalam era digital saat ini, dimana informasi tersebar begitu cepat, hal ini bisa mengarah pada penguatan narasi-narasi yang merugikan atau tidak akurat. Pendukung yang terlalu mengutamakan emosi dan identitas politik ini mungkin tidak menyadari bahwa mereka ikut berkontribusi dalam memperburuk kualitas diskursus politik, dengan menyebarkan kebohongan atau informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga, dalam jangka panjang, ketergantungan pada politik identitas dan narsisme politik ini bisa merusak kualitas kepemimpinan itu sendiri. Pemimpin yang terpilih melalui mekanisme seperti ini cenderung lebih fokus pada pemenuhan kepentingan kelompok tertentu, bukan pada kepentingan seluruh masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak bersifat inklusif dan tidak mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat.

Oleh karena itu, perlu ada kesadaran kolektif di kalangan pendukung calon untuk lebih kritis dalam memilih informasi dan lebih bijaksana dalam mendukung pasangan calon. Pendukung perlu menyadari bahwa dalam demokrasi yang sehat, pilihan politik bukanlah tentang keseragaman identitas, tetapi tentang kebijakan yang mengedepankan kesejahteraan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan. Kita harus mulai bergerak dari sikap narsis menuju sikap yang lebih rasional dan inklusif, yang mampu menghargai keberagaman dan memperjuangkan kebenaran. (Redaksi)

Baca Lainnya

Kantor Baru Klasis GKI Mimika Megah, Siapkah Berdampak pada Megahnya Pelayanan

24 April 2025 - 19:19 WIT

Propaganda Vis a Vis Propaganda Politik

13 September 2024 - 16:43 WIT

Trending di Berita Utama